Oleh Muhamma Arsy Alghiffari
Di zaman yang serba kompleks ini, kita hidup di tengah limpahan informasi yang luar biasa. Berbagai kitab, buku, artikel, dan pemikiran dapat diakses hanya dalam hitungan detik. Namun, justru di sinilah letak bahayanya: tidak semua bacaan yang mudah diakses layak untuk dikonsumsi. Oleh karena itu, kita dituntut untuk selektif dan kritis dalam memilih apa yang kita baca dan pelajari.
Syaikh Dr. Said Ramadhan Al-Buthi, seorang ulama besar dan pemikir Islam kontemporer, memberikan peringatan serius mengenai fenomena ini. Dalam banyak tulisannya, beliau menekankan bahwa membaca tanpa landasan ilmu dan tanpa panduan guru yang lurus dapat membawa seseorang pada kesesatan dan kebingungan. Apalagi jika yang dibaca berasal dari sumber-sumber yang terkontaminasi pemikiran orientalis dan liberal.
Syaikh Al-Buthi menyoroti contoh nyata dalam kasus Husein Haikal, seorang penulis Mesir yang menulis buku berjudul "Hayat Muhammad" (Kehidupan Muhammad). Buku ini ditulis dengan pendekatan modern dan rasionalistik, yang menonjolkan sosok Nabi Muhammad ï·º sebagai seorang pemimpin dan tokoh hebat, namun menafikan aspek kenabian dan mu'jizat beliau.
Dalam buku tersebut, Husein Haikal menyatakan secara terang-terangan:
"Sungguh saya tidak mengambil apa yang ditulis dalam kitab-kitab sejarah klasik dan hadis Nabi. Saya memilih untuk menempuh jalan ilmiah dalam pembahasan ini."
Pernyataan ini mengandung bahaya besar. Ia menolak sumber-sumber otentik Islam (kitab-kitab hadis dan sirah klasik yang telah disepakati keabsahannya oleh para ulama) dan menggantinya dengan pendekatan rasional murni yang justru menafikan banyak hal gaib dalam agama.
Di antara penyimpangan serius dalam buku tersebut:
• Peristiwa Isra' Mi'raj disebut hanya sebagai mimpi, bukan perjalanan fisik.
• Kisah burung Ababil dianggap sebagai metafora dari wabah penyakit menular, bukan mu'jizat nyata.
• Hisab, padang mahsyar, surga, dan neraka dianggap tidak rasional dan ditolak eksistensinya.
Hal ini diperparah dengan pernyataan Muhammad Farid Wajdi, seorang penulis yang juga mengikuti aliran pemikiran serupa:
"Para pembaca kami tentu menyadari bahwa dalam menulis sejarah, kami benar-benar menjaga agar tidak memalingkan suatu fenomena atau peristiwa pada aspek mu'jizat selama masih mungkin dicari faktor penyebab yang biasa, bahkan sekalipun sedikit dipaksakan."
Pernyataan ini menunjukkan sikap anti-mu'jizat yang berbahaya dalam memahami agama. Mereka lebih memilih pendekatan rasional, bahkan meskipun harus “memaksakan” logika, daripada menerima kebenaran wahyu.
Buku-buku seperti ini sering kali ditulis dengan gaya ilmiah dan penuh pujian terhadap pribadi Nabi Muhammad Saw. Banyak pembaca yang terkagum-kagum, namun tanpa disadari, pemikiran mereka telah diracuni. Mereka mulai meyakini bahwa semua yang dilakukan Nabi hanyalah hasil kejeniusan manusia biasa, bukan karena kenabian dan wahyu dari Allah ï·».
Ini adalah bentuk pengaburan yang sangat halus namun berbahaya.
Maka dari itu, hati-hatilah dalam memilih bacaan. Jangan membaca sekadar karena populer atau menarik, tetapi pastikan sumbernya terpercaya dan sejalan dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Jangan sekali-kali menjadikan karya orientalis dan pemikir liberal sebagai rujukan utama dalam memahami Islam.
Sebaliknya, rujuklah kepada karya-karya para ulama yang lurus akidahnya dan terpercaya sanad ilmunya—seperti Syaikh Said Ramadhan Al-Buthi, yang selalu berpegang kepada Al-Qur’an, sunnah, dan manhaj para salaf.
Imam Malik rahimahullah Pernah mengatakan :“Ilmu itu agama. Maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”
Semoga Allah Swt senantiasa membimbing kita untuk mencari ilmu yang bermanfaat dan menjaga kita dari kesesatan pemikiran yang menyesatkan.
===============
-
Terus dukung dan ikuti perkembangan kami lewat akun media sosial PPI Yaman di:
- Instagram: @ppiyaman
- Facebook: PPI YAMAN
- Youtube: PPI Yaman
- Website: ppiyaman.org
0 Komentar