Oleh: Amirul Haq Maqdum Wildany

    Dewasa ini, ikatan pernikahan yang selama ini dipandang sebagai sebuah ikatan suci antara sepasang suami istri kian kehilangan kesakralannya. Angka perceraian terus meningkat, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan dunia—tanpa pandang bulu apakah negara tersebut mayoritas muslim atau bukan. Perceraian terjadi tanpa memedulikan lamanya usia pernikahan; baik yang sudah puluhan tahun bersama, maupun yang baru seumur jagung. Fenomena ini seolah menampilkan gambaran bahwa hampir semua pernikahan berada di ambang kehancuran. Tentu, ini bukanlah sesuatu yang patut dianggap remeh atau dinormalisasi. Sebab, keretakan hubungan suami istri tidak hanya berdampak buruk bagi kedua belah pihak, tetapi juga membawa luka yang menjalar kepada orang-orang di sekeliling mereka—terutama anak-anak dan keluarga besar. Anak yang tumbuh tanpa kasih sayang utuh dari kedua orang tuanya berisiko menghadapi gangguan emosional, penurunan prestasi, bahkan masalah kesehatan mental lainnya. Ini hanyalah sebagian dari dampak domino yang ditimbulkan oleh perceraian dalam kehidupan sosial kita. 

    Benar, meskipun perceraian berpotensi menimbulkan berbagai kemudharatan sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, Islam tetap memberikan ruang bagi terjadinya perceraian. Namun, perlu digarisbawahi bahwa perceraian adalah salah satu perkara halal yang paling dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Status hukum perceraian sebagai mubah bukan berarti Islam menganjurkan atau membenarkan terjadinya keretakan rumah tangga tanpa alasan yang jelas. Sebaliknya, Islam menetapkan perceraian sebagai jalan keluar terakhir yang dibolehkan ketika seluruh upaya rekonsiliasi antara suami dan istri tidak lagi membuahkan hasil. Islam justru sangat menekankan pentingnya menjaga keutuhan rumah tangga, karena dampak perceraian tidak hanya dirasakan oleh pasangan itu sendiri, tetapi juga oleh anak-anak, keluarga besar, dan masyarakat secara umum. Oleh karena itu, tidak setiap permasalahan dalam rumah tangga harus berujung pada talak. Masih banyak cara lain yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan konflik, seperti musyawarah, mediasi keluarga, hingga pendampingan oleh pihak ketiga yang bijak dan adil.

    Lantas, apakah semua ikatan pernikahan yang masih bertahan hingga kini mencerminkan hubungan yang harmonis dan bebas dari masalah? Tentu tidak. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa perceraian dapat menimbulkan berbagai kemudharatan, mempertahankan pernikahan pun bukan jaminan akan hadirnya keharmonisan. Realitas menunjukkan bahwa berbagai konflik seperti perselingkuhan, suami yang abai dalam menafkahi istri, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan masalah lainnya masih kerap menghiasi berita di media massa. Hubungan yang semestinya dibangun di atas pondasi kasih sayang dan cinta justru tak jarang berujung pada permusuhan, bahkan memutus tali persaudaraan antarsesama muslim dan anggota keluarga sendiri—terutama ketika perselingkuhan terjadi di lingkungan internal keluarga. Tak mengherankan jika kompleksitas problematika ini melahirkan keresahan baru di masyarakat, yakni ketakutan terhadap institusi pernikahan itu sendiri, sebagaimana tergambar dalam slogan “Marriage is Scary”. Padahal, pernikahan sejatinya adalah simbol cinta dan kasih sayang antarmanusia, bukan sumber kehancuran yang menyerupai kiamat dalam kehidupan pribadi seseorang. 

    Mengapa hubungan pernikahan kini tampak begitu mengerikan? Ke mana hilangnya kata "cinta" yang dulu dengan hangat terucap di awal akad? Ke mana perginya keindahan pernikahan yang dahulu digambarkan begitu indah dalam bait-bait syair para pujangga? Pernikahan yang seharusnya menjadi taman penuh ketenangan dan kasih sayang, kini justru sering berubah menjadi ladang konflik yang melelahkan jiwa.

    Salah satu jawaban mendasar dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah minimnya pemahaman pasangan suami istri tentang hukum-hukum pernikahan serta hak dan kewajiban masing-masing. Sebagaimana dikatakan oleh Ustaz Felix Siauw dalam salah satu siniar beliau: "Bila setiap pasangan menggunakan dalil dan hukumnya masing-masing, maka tidak akan ada masalah dalam pernikahan. Suami menggunakan dalilnya sendiri, seperti kewajiban menafkahi istri, memenuhi kebutuhan istri, dan lain-lain. Pun juga istri menggunakan dalilnya sendiri, seperti kewajiban menjaga kehormatan suami, memberikan pelayanan terbaik di rumah, dan sebagainya. Bila itu terjadi, maka semua akan damai. Bukan sebaliknya, istri hanya menuntut hak, suami hanya menuntut kewajiban.” Andai pernikahan dijalani dalam bingkai syariat dan aturan yang benar, niscaya ia tak akan menjadi kiamat bagi para pelakunya. Justru sebaliknya, ia akan menjadi titik balik bagi perbaikan dan kemajuan umat. Sebab kebangkitan peradaban tidak pernah dimulai dari mimbar besar atau istana megah, melainkan dari pondasi terkecil masyarakat: keluarga yang sehat, harmonis, dan taat pada tuntunan Ilahi.

    Oleh karena itu, Islam memberikan panduan yang rinci dan menyeluruh mengenai etika serta tata cara membangun kehidupan rumah tangga, sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab para ulama fikih. Di dalamnya dibahas secara mendalam mengenai hak dan kewajiban suami istri, larangan-larangan dalam pernikahan, serta solusi terhadap permasalahan yang mungkin muncul selama ikatan pernikahan berlangsung. Dengan mengikuti pedoman tersebut, rumah tangga diharapkan dapat terbangun di atas fondasi keharmonisan dan kasih sayang, bukan menjadi arena pertikaian yang tiada henti.

    Sayangnya, penjabaran yang sangat rinci dan terkadang bertele-tele dalam kitab-kitab fikih klasik seringkali membuat masyarakat awam kesulitan untuk memahami satu per satu hukum dan permasalahan yang berkaitan dengan pernikahan. Pasangan suami istri sering merasa kewalahan saat mencoba mempelajari isinya karena gaya penyampaian yang kompleks. Bahkan para pelajar pun tidak jarang kesulitan dalam menghafal atau memahami kaidah-kaidahnya, mengingat panjangnya kalimat dan padatnya materi yang disampaikan. Maka dari itu, hadirnya Nadhom Dhou’ al-Misbah menjadi solusi praktis dan efektif dalam menjawab tantangan tersebut.

    Nadhom Dhou’ al-Misbah adalah untaian bait-bait syair karya Syekh Abdullah Ahmad Basaudan yang merangkum hukum-hukum fikih seputar pernikahan dengan bahasa yang ringkas, indah, dan mudah dihafal. Syekh Abdullah Ahmad Basaudan merupakan salah satu ulama besar asal Hadhramaut yang hidup pada abad ke-13 Hijriah. Dari tangan beliau lahir murid-murid yang kelak menjadi ulama terkemuka di Hadhramaut, seperti Habib Ahmad bin Muhammad al-Muhdhor, Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Atthas, Habib Sholeh bin Abdullah al-Atthas, dan banyak lainnya. Melalui karya ini, beliau tidak hanya menyederhanakan pemahaman fikih pernikahan, tetapi juga mewariskan metode pembelajaran yang aplikatif lintas generasi.

    Salah satu keunggulan Nadhom Dhou’ al-Misbah terletak pada penyajiannya yang ringkas dan fokus pada pokok-pokok hukum pernikahan, seperti kafa’ah, syarat calon suami istri, ijab qabul, dan sebagainya. Dengan hanya 91 bait, nadzom ini mampu merangkum pembahasan yang dalam kitab-kitab muthawwalat dibahas secara panjang lebar dalam ratusan halaman dan puluhan bab. Inilah yang menjadikannya sering direkomendasikan oleh para pakar fikih, karena sangat membantu pelajar dalam menghafal dan memahami dasar-dasar hukum pernikahan secara sistematis.

    Meski demikian, nadzom ini tidak luput dari kekurangan. Pertama, penggunaan bahar thowil sebagai pola syair membuatnya kurang akrab di telinga pelajar Indonesia yang lebih terbiasa dengan bahar rojaz. Kedua, terdapat beberapa ketidaksesuaian qofiyah yang bisa menyulitkan dalam pelafalan. Ketiga, masih ada sejumlah bab penting dalam fikih pernikahan yang tidak tercakup, seperti hukum ilā’, zhihār, kaffārah, li’ān, raḍā‘, nafkah, dan ḥaḍānah.

    Namun demikian, kekurangan tersebut telah banyak ditutupi melalui karya syarah yang disusun langsung oleh pengarang nadhom, yaitu Syekh Abdullah Ahmad Basaudan. Beliau menambahkan penjelasan terhadap nadhom ini dalam syarah berjudul Zaytūnah al-Ilqā fī Aḥkām an-Nikāḥ, yang memuat pembahasan tambahan seperti hukum raḍā‘, nafkah, dan ḥaḍānah. Adapun topik lain seperti nusyūz dan qasm dijelaskan dalam karya beliau yang lain, as-Syarḥ al-Kabīr. Selain itu, terdapat pula kitab Minah al-Fattāḥ ‘alā Ḍaw’ al-Miṣbāḥ fī Aḥkām an-Nikāḥ karya Imam al-Bājūrī yang bertujuan serupa. Semoga kita semua dapat mengambil manfaat dari nadzom ini sebagai jalan untuk memahami fikih pernikahan secara lebih mudah dan aplikatif, khususnya dalam menjawab tantangan zaman modern. Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb.