Oleh: Arman Muhammad Amir

Bangsa Indonesia telah merdeka dari penjajahan bangsa lain selama 77 tahun. Namun ketika bergumam tentang penjajah, maka akan identik dengan bangsa lain, hal tersebut jelas merupakan kekeliruan. Penjajah dalam KBBI juga berarti orang yang terlalu menguasai (menindas dan sebagainya). Adapun terjajah artinya tersusahkan. Jadi penjajah artinya lebih komprehensif dari sekedar eksploitasi yang dilakukan oleh bangsa-bangsa lain.

Ketika berbicara mengenai kemerdekaan, sudah menjadi hal yang aksiomatis bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, ini sudah tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Kata “bangsa” yang tertoleh bersifat universal, tanpa membadakan gender, baik itu perempuan maupun laki-laki.

Namun ketika melihat realita di masyarakat, perbedaan tingkat kesusahan, kesulitan dan bahkan penindasan sangat kontras antara 2 gender yang berbeda, yaitu laki-laki dan perempuan. Kaum perempuan mengalami serangkaian stereotip, diskriminasi, atau stigma yang beredar di masyarakat.

Hal semacam itu merupakan tindakan primitif dan harusnya tidak nampak setelah 77 tahun terbebasnya Indonesia dari penindasan bangsa lain. Namun data Gender Inequality Index yang dirilis oleh United Nations Development Programme pada 2018 lalu menunjukkan Indonesia menempati posisi ke 116 dari 188 negara. Posisi tersebut sangat rendah jika dibandingkan dengan negara kawasan Asia Tenggara lain.

Jika problematik ini ditinjau dengan teori kausalitas, maka yang mendalangi kejadian ini adalah budaya patriarki yang telah mendarah daging di Indonesia. Budaya yang mencekam itu menjalar di berbagai sektor, seperti pendidikan, pekerjaan, berbagai bentuk kekerasan dan yang paling parah adalah pelecehan seksual.

Budaya Patriarki

Menurut sejarawan Peter Carey, masyarakat Nusantara tidak bersifat patriarkis dalam tatanan sosialnya. Akan teteapi lebih berorientasi kepada sifat matriarki. Selain Peter Carey, Proses peralihan masyarakat dari matriarchal dan ke patriarchal family juga telah dijelaskan oleh beberapa teori, seperti teori Marxis yang dilanjutkan oleh Engels. Budaya Matriarki ini masih berbekas pada praktik yang dilakukan masyarakat Minangkabau dan Aceh. Dan berdasarkan penelitian lain, ketika masa sebelum kedatangan bangsa Eropa, perempuan memiliki peran yang sama dengan laki-laki.

Namun ketika masa penjajahan, perempuan diperlakukakan secara arbitrer, seperti ketika anak perempuan yang lahir dari pria eropa dan wanita pribumi dibawah ke panti asuhan. Ayahnya seenaknya untuk mengambil atau tetap menahan putrinya. Dengan kata lain, semudah itu mereka dibuang, semudah itu pula ia dapat diambil.

Selain itu, pada masa penjajahan bangsa Jepang, perempuan-perempuan di tanah air diasumsikan tak bernilai oleh bangsa penjajah, perbudakan seks atau biasa dikenal dengan istilah jugun ianfu sangatlah jamak pada saat itu. Dan setelah kemerdekaan, ternyata nilai-nilai dari budaya penjajah masih membekas melalui budaya yang dilanjutkan dari generasi ke generasi, yaitu budaya patriarki.

Setelah melalui berbagai fase penjajahan, perempuan masih mengalami Disekuilibrium. Budaya yang kontinu ini menganggap perempuan sebagai posisi kedua setelah laki-laki. Perempuan di Indonesia masih terisolasi dalam persepsi masyarakat bahwa urusan perempuan sebatas urusan dapur dan rumah tangga. Selain itu, stereotip bahwa perempuan daif, tidak mandiri, dan tidak kredibel dijadikan pemimpin juga masih intens. Stigma seperti itu semakin intim kemudian berimpak kepada pembentukan sebuah unsur kebudayaan yang masif. Hal ini memicu sebagian kaum perempuan berserah dengan kodratnya sesuai dengan asumsi tersebut.

Budaya tentu memegang peranan yang vital dalam suatu tempat. Selain itu, budaya juga memberikan imbas yang intens. Budaya patriarki yang sudah mendarah daging ini tentunya sudah mempengaruhi sektor-sektor lain, dan menginterupsi kemerdekaan bagi kaum wanita, seperti diskriminasi pendidikan, diskriminasi karir, kekerasan dan bahkan pelecehan seksual.

1. Diskriminasi pendidikan

Pendidikan merupakan hal yang krusial dalam sebuah Negara. Pendidikan yang rendah tidak hanya berimpak pada buta huruf, bahkan jauh lebih naas dari itu. Masyarakat yang mudah terpancing oleh hoaks dan diadu domba adalah dampak yang lebih darurat yang biasa disebut Jahl Murakkab (tidak tau kalau dirinya tidak tau). Ketika emosi masyarakat lebih tinggi daripada edukasi maka akan menghancurkan sebuah Negara.

Kedudukan seorang perempuan ketika masa penjajahan sangatlah tragis, terutama masyarakat pribumi yang dibedakan dalam bidang pendidikan. Spesifiknya perempuan pribumi yang bisa dikatakan tidak punya probabilitas mengecap pendidikan formal saat itu. Di kalangan pribumi, hanya anak kaum bangsawan yang punya oportunitas, itu pun terbatas hanya kaum laki-laki saja. Hal ini juga masih berbekas pada era ini.

Begitu krusialnya sebuah pendidikan, tidak komplet jika hanya kaum pria yang dapat memangkunya. Padahal realitanya, perempuan juga sangat urgen dalam progres sebuah Negara. Berdasarkan survei dari Pusat Data dan Statistik Pendidikan (PDSP) Kemendikbud tahun 2013 menunjukkan, persentase perempuan pengajar perguruan tinggi sebesar 40,58%, sementara pengajar perguruan tinggi laki-laki sebesar 59,42%.

(Gambar: tirto.id)

Hal ini menunjukkan bahwa persepsi bahwa perempuan hanya bertanggung jawab dalam urusuan domestik berdampak kepada turunnya motivasi untuk mengambil gelar S2 atau S3 sebagai syarat pengajar perguruan tinggi. Hal ini tidak terlepas dari intensnya budaya patriarki yang sudah dijelaskan pada poin sebelumnya. Perempuan dianggap tidak perlu berpendidikan tinggi karena nantinya hanya bertugas mengurus rumah dan anak. Padahal, mendidik anak memerlukan kecerdasan baik IQ maupun EQ.

Selain itu, persepsi bahwa perempuan berpendidikan tinggi akan sulit mendapat pasangan hidup juga masih berkembang. Selain itu, persepsi bahwa perempuan hanya memiliki responsibilitas dalam urusuan domestik berimpak kepada merosotnya motivasi untuk melanjutkan pendidikan S2 atau S3 yang merupakan syarat pengajar perguruan tinggi.

2. Sektor Karir

Pekerjaan atau karir merupakan hal yang begitu penting dalam masyarakat, karena bersentuhan langsung terhadap ekonomi individu ataupun kelompok. Namun dalam masalah perempuan, disparitas dalam sektor pekerjaan ini juga begitu kontras. Meskipun telah tertoleh dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Pasal 49 ayat 1 bahwa perempuan berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang- undangan.

Stigma irasional tentang perempuan yang berkarir tidak serta merta hengkang walaupun telah ada undang-undang yang menatanya. Pada tahun 2018, menurut Survei Angkatan Kerja Nasional yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja atau TPAK perempuan lebih rendah dibandingkan TPAK laki-laki, yakni hanya di angka 55% dan proporsi laki-laki dalam sektor tenaga kerja formal tercatat hampir dua kali lipat dibanding perempuan.

Selain dari segi angkatan kerja, keterwakilan dalam jabatan publik juga sangat kontras, berdasarkan Indeks Pemberdayaan Gender Indonesia tahun 2010-2017, keterwakilan perempuan dalam kursi parlemen adalah 17,32% dan komposisi anggota DPR RI tahun 2014-2019 didominasi oleh laki-laki dengan jumlah 463 orang, sedangkan perempuan hanya 97 orang.

Tentunya ada sebab akibat dari disparitas ini, baik faktor internal maupun eksternal. Faktor internalnya, perempuan Indonesia cenderung masih kurang percaya diri, Perempuan Indonesia masih sulit untuk bisa membuka diri dan berbicara di depan publik. Adapun faktor eksternalnya yaitu sikap masyarakat yang masih membatasi perempuan Indonesia dalam mengeksplorasi diri mereka.

Sebagai contoh, ketika ada perempuan yang memiliki peran yang asing atau berbeda, akan mendapatkan reaksi dari masyarakat. Tak hanya itu, akses finansial perempuan Indonesia juga masih terbatas, juga akses perempuan Indonesia terhadap informasi dan pendidikan. Hal ini menjadi hambatan lain yang membuat perempuan Indonesia kurang percaya diri dalam menghadapi berbagai tantangan di dunia kerja.

3. Kekerasan terhadap Perempuan

Jenevieve Mannell, Associate Professor Kesehatan Global, UCL menganalisa bahwa perempuan di negara-negara yang pernah dijajah memiliki kemungkinan 50 kali lebih besar mengalami kekerasan oleh pasangan intim. Ketika suatu negara memiliki budaya masyarakat patriarki yang tinggi sekaligus sejarah kolonialisme, risiko terjadinya kekerasan dalam rumah tangga meningkat.

Banyak akademisi dari masa pasca kolonialisme yang telah mengatakan hal serupa. penjajahan menjadi akar dari tumbuhnya sistem dan struktur yang menyebabkan tingginya kekerasan terhadap perempuan. Dari data yang diinput di kemenpppa dari 1 januari sampai 24 agustus 2022. Jumlah kekerasan yang tercatat sebanyak 14.825 korban. Spesifiknya, korban laki-laki berjumlah 2.298 korban, sementara perempuan berjumlah 13.675 korban.

(Gambar: kekerasan.kemenpppa.go.id)

Adapun profesinya bermacam-macam, mulai dari pelajar dengan persentase 42.7%, hingga ibu rumah tangga 24% dari total jumlah kekerasan. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada tempat yang benar-benar aman bagi perempuan, baik itu di rumah maupun di luar rumah. Korbannya mendominasi ternyata masih mudah, yaitu 13-17 tahun.

(Gambar: kekerasan.kemenpppa.go.id)

Tentunya tindakan kekerasan ini sudah ada payung hukumnya, para pelaku kekerasan dapat dijerat dengan berbagai pasal, jika kekerasan fisik maka dapat dituntut dengan pasal penganiayaan (Pasal 351–358 KUHP), apabila perempuan korban kekerasan berusia di bawah 18 tahun, maka juga dapat dijerat dengan UndangUndang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23.

Lalu apa yang menyebabkan masih maraknya kekerasan yang terjadi, khususnya terhadap perempuan di Indonesia? Hal ini terjadi karena adanya Non reportingofcrime, yaitu ditengarai sebagai suatu kondisi yang disebabkan oleh berbagai hal, antara Iain: rasa malu dan takut kepada pelaku akan membalas di kemudian hari. Tentunya masih banyak alasan lain dari Non reportingofcrime ini.

Jadi ketika kita melihat data survei dari berbagai lembaga, sudah menjadi hal yang aksiomatik kalau jumlahnya korbannya lebih banyak dari itu. Karena itu hanya data yang melaporkan, masih banyak kekerasan yang terjadi yang dipendam pelaku.

4. Pelecehan seksual

Kasus pelecehan sudah sangat mengakar di bangsa kita. Hal ini dibuktikan dengan berbagai tragedi, seperti kekerasan seksual massal terjadi dalam Tragedi Mei 1998, Jugun Ianfu yaitu perempuan korban pemaksaan pelacuran di masa penjajahan Jepang 1942-1945. Pemberlakuan daerah operasi militer di Aceh pada tahun 1989-1998 menyisakan kisah kekerasan seksual terhadap perempuan. Pelecehan seksual merupakan tindakan tunasusila yang tidak diinginkan dan dapat terjadi kapan saja, kepada siapa saja dan dimana saja. Apalagi di era serba digital ini, pelecehan juga bisa terjadi di media sosial sekalipun. Tindakan tunasusila ini sudah sangat krusial.

Berdasarkan survey dari L'Oreal Paris bersama IPSOS - Jan 2021: 8 dari 10 perempuan di Indonesia pernah mengalami sexualharassment di ruang publik, banyak yang berstigma bahwa tindakan itu terjadi ketika perempuan lagi sendiri, namun ketika melihat fakta di luar, latar lokasi yang paling sering terjadi tindak kriminal tersebut yaitu di jalanan umum, transportasi, persekolahan dan kampus “semuanya adalah ruang publik”, dan naasnya, data kasus yang paling tinggi bukan di malam hari, tapi terjadi di siang hari. Di lansir dari bbc.com, hasil survei menunjukkan waktu korban mengalami pelecehan (55%) terjadi di siang hari.

Lebih spesifiknya, catcalling semakin intens terjadi, tentu akan mengakibatkan dampak buruk bagi si korban. Apalagi masih banyak korban yang tidak berani untuk melaporkan dan memilih untuk diam. Tidak banyak pula yang berani menolong ataupun pembelaan terhadap korban catcalling karena takut akan menjadi keributan. Padahal semua telah diatur oleh hukum Negara kita, seperti yang diatur dalam Pasal 281 Ayat (2) dan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi dapat digunakan untuk penyelesaian perbuatan catcalling (pelecehan seksual verbal) terhadap perempuan di Indonesia.

Namun bagaimana pun aturannya, kalau korban masih sulit speak up maka tidak akan berkurang perbuatan tersebut. Kondisi ini tentunya tidak boleh menyalahkan pihak korban, karena panic moral pasti menghampirinya. Apalagi banyak kejadian yang manampakkan bahwa justru korban yang sulit mendapat keadilan dalam kasusnya.

Akses dan kebebasan terhadap gangguan bagi seluruh masyarakat tidak terkecuali perempuan merupakan hak. Walaupun begitu masih terdapat warga negara yang terdiskriminasi dalam mendapatkan haknya. Hal ini dibuktikan dari berbagai data dan fakta yang telah dirangkum pada tulisan ini. Keadaan ini tidak lepas dari masih langgengnya budaya patriarki dalam masyarakat yang memprioritaskan laki-laki, dan kaum perempuan didiskriminasi dan kurang dipercayai.

Ketidaksetaraan gender yang masih berkembang dalam masyarakat telah melahirkan bermacam-macam ketidakadilan. Oleh karena itu, edukasi terhadap kesetaraan dan keadilan gender mulai direalisasikan secara perlahan-lahan. Hal ini dapat dilihat dari adanya usaha kesetaraan kesempatan pendidikan yang dijamin oleh pemerintah. Namun, hal ini sangatlah sulit karena sudah menjadi budaya yang mengakar, ketidakadilan masih berdiri tegak.

Untuk itu, semua pihak harus bersinergi dalam memerdekakan perempuan dengan cara membebaskan Indonesia dari budaya patriarki. Pemerintah menciptakan hukum yang lebih tegas bagi pelaku ketidakadilan gender, mayarakat ikut pergerakan-pergerakan yang mendukung, seperti membiasakan menghilangkan budaya patriarki dari diri sendiri dan mengedukasi orang lain tentang buruknya budaya patriarki, mulai dari sector pendidikan, pekerjaan, kekerasan dan pelecehan seksual. Selain itu, masyarakat harus mengubah pola pikir dan merangkul kaum perempuan agar tidak merasa kurang dan tertinggal dari laki-laki dan memiliki potensi yang besar dalam berbagai bidang. Kemerdekaan bangsa Indonesia juga merupakan hak bagi kaum perempuan.


===============