Oleh: Nur Saifullah 

Program Studi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Kediri

Juara 1 Lomba Esai PPI Yaman 2022 Generasi Milenial dalam Memaknai Kemerdekaan

Perilaku masyarakat sosial sekarang lebih erat kaitanya dengan dunia digital, dengan bermodalkan smartphone kita bisa dengan leluasa mengakses berita-berita online dari berbagai platform dan website. Dimanapun dan kapanpun orang akan begitu cepat dalam mendapatkan informasi sebagai konsumsi publik.

Jika kita tidak mempunyai filter dalam mengkonsumsi berita, bukan tak mungkin kerugian yang besar akan menimpa diri kita. Karena dalam media digital terdapat ideologi-ideologi tertentu yang ada di baliknya untuk saling merebutkan legitimasi dari audiens agar mau mengafirmasi pemikiran dan kepentingan yang hendak dicapai (Rohima, 2017).

Mengutip dari pernyataan Antonio Gramsci, yang mengungkapkan bahwa sesungguhnya peperangan yang terpenting pada abad modern ini adalah ideologi. Ideologi siapa yang paling terstruktur dan kuat, maka dengan mudah akan mampu mengendalikan hal apapun termasuk dalam konstruksi media digital.

Pemahaman tentang hegemoni media bisa diartikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi dominasi oleh individu-individu di balik media massa yang berimplikasi dengan cara hidup dan cara pandang tertentu yang kemudian disebarluaskan ke masyarakat luas sehingga perlahan-lahan mencengkeram pola pikir masyarakat (Altheide, 1984).

Dalam hal ini, Al Quran telah mengingatkan kita betapa pentingnya untuk mengetahui kebenaran dari suatu berita, seperti dijelaskan dalam Al Qur’an surat Al Hujurat ayat 6 sebagai berikut:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ -

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu.

Hal tersebut menandakan bahwa masyarakat yang minim literasi akan menjadi sasaran empuk dalam proyeksi ideologi yang menyimpang. Apalagi secara tipologi masyarakat Indonesia sangat majemuk yang apabila tidak diimbangi dengan kesadaran moderat dan inklusif akan mudah untuk digoreng terutama dalam isu agama.

Padahal jika kita telisik asal kata dari agama itu sendiri yakni berasal dari dua suku kata, “a” artinya tidak sedangkan “gama” artinya kacau. Berarti secara sederhana agama adalah seperangkat aturan yang mengatur kehidupan umat manusia agar tidak kacau (Kahmad, 2009). Namun realitanya, masih banyak sekali bentuk-bentuk kekerasan agama yang dibungkus dengan formula jihad dan ditunggangi basis ideologi radikal baik secara kultural maupun struktural.

Secara kultural, semangat beragama yang berlebihan dengan klaim kebenaran tunggal terhadap agama yang dianutnya akan menyebabkan cara pandang kacamata kuda, menganggap golongannya paling benar sehingga menyalahkan golongan lain yang berbeda pandangan.

Sedangkan secara struktural mereka bergerak dalam ranah politik untuk menyebarkan ideologi yang diusungnya. Kemungkinan terparahnya yakni berusaha melakukan propaganda dan makar untuk mengambil alih kekuasaan negara, yang secara hukum tindakan tersebut jelas tidak bisa dibenarkan.

Maka dari itu, perlu sebuah counter hegemony dengan menggunakan prinsip tawasuth (sikap tengah-tengah), tawazun (seimbang), i’tidal (tegak lurus/berlaku adil) dan tasamuh (toleransi) yang kemudian pada era kontemporer ini munculah istilah khazanah moderasi beragama.

Lalu bagaimanakah kemudian kita mengejawantahkan konteks moderasi beragama jika kita refleksikan dengan kemerdekaan berpikir moderat dalam lingkup media digital? Karena banyak sekali pihak yang menggunakan media digital sebagai sarana merebutkan kontestasi wacana dalam mencari dukungan secara kolektif.

Melihat gejala penyebaran paham radikalisme dalam aspek sosial kemasyarakatan, berbagai usaha telah diupayakan. Dari pihak pemerintah sendiri, dalam hal ini melalui kominfo telah memblokir 20.453 konten terorisme berbasis radikal di media sosial terhitung 12 April 2021. Langkah itu patut dilakukan karena adanya indikasi perekrutan kelompok teroris melalui media sosial hingga penyebaran konten berbau radikal (kominfo.go.id).

Di tengah kegelisahan dengan adanya oknum yang mencoba mendistorsi penggunaan media digital dengan narasi provokatifnya, maka hadirlah akun media sosial twitter NU Garis Lucu (@Nugarislucu) yang datang dengan kemasan fresh dalam mengolah narasi tentang problematika keagamaan dengan ringan dan humor yang mengandung sarkasme. Secara simbolik akun NU Garis Lucu menampilkan sosok Gus Dur pada foto profilnya. Gus Dur memang menjadi panutan warga NU dalam hal pluralitas dan toleransi beragama, dengan karakter beliau yang terkenal dengan humor-humor khasnya, akun NU Garis Lucu kemudian berusaha membangkitkan kembali semangat dakwah dengan humorisasi melalui media digital.

Dengan semboyannya “sampaikanlah kebenaran walaupun itu lucu”, akun NU Garis Lucu berusaha membangun citra cara beragama yang inklusif, memperkenalkan ajaran Islam dengan santai tanpa harus menyerang golongan lain. Justru beragam celetukan yang dikemas dengan humor, orang akan mudah menangkap pesan yang disampaikan baik dari kalangan NU sendiri maupun non NU.

Menariknya lagi, ternyata gerakan akun garis lucu tersebut kemudian diikuti oleh munculnya berbagai akun garis lucu lainya seperti Muhammadiyah Garis Lucu (@MuhammadiyahGL), Komunitas Katolik Garis Lucu (@KatolikG), Kristen Protestan Garis Lucu (@ProtestanGL), Hindu Garis Lucu (@GIHindu), Koh Garis Lucu (@KonghucuGL) serta Buddhis Garis Lucu (@BuddhisGL).

Beberapa kali akun-akun garis lucu tersebut sering melontarkan statement satu sama lain, saling sahut menyahut dan berkomentar tentang isu agama yang sedang ramai diperbincangkan publik, tentunya dengan gaya slengekan sarkasme mereka yang mengena sehingga para pengguna media digital tetap dapat memetik nilai edukasi sambil berbahagia.

Beberapa contoh kutipan dari tweet akun NU Garis Lucu yakni sebagai berikut:

“Kalau surga ada ditelapak kaki ibu, terus neraka ada dimana? Di mulut netizen Indonesia”.

Doa Abu Nawas : “Tuhan, aku tidak pantas masuk surga, tapi aku tak kuat ada di neraka” terus maumu apa? Ngajak bercanda?

“Indonesia ini negeri dengan penduduk muslim terbesar sedunia. Ulamanya melimpah, pendidikan Islam berkembang pesat. Lucunya, kalian nyari guru kok malah dari internet”.

“Pakai sorban dan gamis saya pikir dia ulama, ternyata Piccolo. Pantesan Emosian”

Dan yang sempat viral yakni cuitan antara akun Katolik Garis Lucu dan NU Garis Lucu ketika Deddy Corbuzier masuk Islam. Secara simbolik akun Katolik Garis Lucu (@KatolikG) menyerahkan amanah kepada NU Garis Lucu (@Nugarislucu). Bunyi cuitan tersebut tertulis sebagai berikut:

“Hari ini kami serahkan @corbuzier ke @Nugarislucu untuk selanjutnya disunat dan diarahkan,” tak lama kemudian akun @Nugarislucu membalasnya, “Siap ndan, ajaran baik dari sampean akan tetap kami pertahankan.” Lalu @KatolikG menimpalinya kembali, “Siapa bilang Deddy @corbuzier meninggalkan gereja? Dia justru menyadari jarang ke gereja dan memilih mualaf ke @NUgarislucu agar bisa masuk Banser dan resmi menjadi penjaga gereja setiap minggu. Mohon maaf @mantriss @GPAnsor_Satu." Tak berhenti disitu, akun @NUgarislucu pun kembali meresponnya dengan jawaban, "Setelah ini, Om Deddy akan kami biasakan makan nasi berkat, sebelum ikut Pelatihan Kader Banser" (okezone.com).

Bayangkan jika statement di atas tidak dikemas dengan humor, maka bisa menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Namun, berbeda kondisinya ketika semangat dialog dan kebersamaan yang diusung oleh kedua pihak, maka munculah ikatan satu sama lain sebagai umat beragama yang saling menghargai. Pada titik inilah kualitas humor seseorang bisa menjadi medium dalam keberhasilan interaksi, baik di dunia nyata maupun dunia maya.

Dalam sudut pandang Jurgen Habermas, fenomena tersebut bisa dikatakan sebagai berfungsinya rasionalitas komunikatif yang mengedepankan adanya ruang dialogis, bukan monologis. Artinya bahwa ruang dialogis yang dimaksud adalah ketika sebuah tulisan baik berbentuk artikel atau reportase harus bisa membuka ruang bagi pembaca untuk mengomentari atau ikut urun rembuk dalam tema yang diangkat tersebut, bukan tulisan yang bersifat absolut-totaliter (Mustofa, 2020).

Hal demikian tentunya membawa angin segar tersendiri dalam upaya untuk meredam ajaran agama yang disebarkan dengan keras, kaku, dan ekslusif di media digital sehingga memantik adanya kebencian di antara pemeluk agama lain. Apa yang dilakukan oleh akun-akun garis lucu seyogyanya harus mampu diimplementasikan dalam kehidupan nyata sebagai cermin betapa indahnya kehidupan beragama apabila saling menghargai dan membendung gerakan-gerakan intoleransi.

Dalam mengupayakan adanya perubahan struktur fungsional di masyarakat tersebut, ada skema yang harus dilalui seperti yang telah dicetuskan oleh kritikus sosiologi Talcott Parsons melalui teori A-G-I-L. Adaptation (adaptasi), dalam hal ini aku-akun media garis lucu merubah gaya dakwah dengan mengangkat nilai religius, toleransi dan persatuan yang dibawakan dengan humor untuk mengcounter paham radikalisme di media digital.

Goal (tujuan), dalam hal ini tujuan dari munculnya akun garis lucu yakni menciptakan masyarakat yang moderat agar bisa hidup tenang, baik di dunia maya terlebih lagi di dunia nyata. Integration (integrasi), yakni adanya ruang diskusi dan interaksi antara akun garis lucu bersama sehingga membawa efek keterbukaan dan penyadaran tersendiri melalui dakwah humor yang disampaikan serta akan memengaruhi corak berpikir followersnya dalam menjalani kehidupan.

Latency (pemeliharaan pola), pentingnya menjaga pola dakwah digital ala akun garis lucu harus dilakukan secara masif dan kolaboratif yang pada akhirnya dapat membangun iklim media digital yang sehat dan jauh dari berita-berita yang memicu gesekan antar umat.

Karena bagaimanapun juga, kunci agama bisa melewati perubahan sosial adalah harus bisa melewati 4 fase keberagamaan yaitu:

a. Fase emosional: fase dimana keberagamaan seseorang masih didominasi oleh faktor emosional seperti keturunan, pendidikan, keluarga dan lain-lain. Sebenarnya ini adalah modal yang sangat luar biasa, akan tetapi bisa juga menjadi bumerang tersendiri karena fanatisme golongan sehingga mudah tersulut konflik dan diadu domba dengan kelompok lainya.

b. Fase spiritual: dimana dalam fase ini orang yang beragama mulai mempertanyakan agamanya atau bahkan kritis terhadap agamanya, mulai melakukan pencarian kedalaman intelektualnya, seperti yang juga pernah dialami oleh Nabi Ibrahim a.s ketika pencarian Tuhan. Walaupun bapaknya pembuat patung berhala akan tetapi dengan kekayaan intelektualnya beliau memeluk agama Islam.

c. Fase spiritual: fase dimana manusia sadar bahwa intelektual itu tidak serta merta dapat menemukan kebenaran beragama yang sejati. Seseorang mulai haus akan dahaga spiritualnya. Dalam fase ini manusia tidak boleh melakukan pencarian sendiri dan harus didampingi oleh seorang mursyid atau guru yang akan menuntunnya. Sebagai murid, kita harus memposisikan diri seperti gelas kosong yang siap menerima aliran mata air yang sejati ari sang guru.

d. Fase sosial: sebuah fase yang bisa dikatakan keberagaman masyarakat sudah revolutif. Seperti halnya Rasulullah, sebenarnya beliau kaya akan tetapi beliau memilih hidup miskin karena ada sebuah rasa empati melihat beberapa kaumnya dari kalangan orang miskin. Puncak dalam fase ini adalah terjadinya harmoni sosial yang didasari manifestasi cinta dan kasih sayang.

Kampanye moderasi beragama melalui media digital tentunya menjadi salah satu langkah terbaik dalam mewujudkan sistem keberagamaan yang inklusif dan damai. Media mempunyai tendensi penting bagi jalanya dakwah yang dapat menjangkau khalayak banyak dengan cepat (Arifin, 2011). Perlu adanya sebuah inovasi dan kepiawaian dalam mentransformasikan gaya berdakwah melalui media massa. Sudah sepatutnya dakwah bisa dikonsumsi oleh khalayak luas tanpa meninggalkan kaidah keilmuan agama Islam yang santun dan rahmatan lil alamin.


DAFTAR PUSTAKA

Altheide, D (1984). Media Hegemony: A Failure of Perspective. Public Opinion Quarterly Summer. No. 48: 476-90.

Arifin, Anwar (2011). Dakwah Kontemporer: Sebuah Studi Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009.

Kominfo.go.id, https://aptika.kominfo.go.id/2021/04/kominfo-blokir-20-453-konten-terorisme-radikalisme-di-media-sosial/ diakses pada 29 Agustus 2022.

Mustofa, Saiful (2020). Media Online Radikal dan Matinya Rasionalitas Komunikatif. Tulungagung: Akademia Pustaka.

Okezone, https://lifestyle.okezone.com/read/2019/07/01/612/2073213/bermunculan-akun-religius-garis-lucu-di-medsos-sebuah-cara-cairkan-suasana diakses pada 29 Agustus 2022.

Rohima, Iim (2017). Kontestasi Wacana Antara Islam Liberal dan Islam Radikal di Media Online Indonesia. Tesis, Institut Agama Islam Negeri Purwokerto.


===============