Pandangan orang-orang yang berpikiran sederhana tidak bisa melihat bahwa penggunaan wig bagi kaum hawa adalah perkara mubah. Bahkan, hal itu bisa beralih kepada sunnah jika dilandasi membahagiakan pasangan (suami).

Muncul pertanyaan, apakah penggunaan wig itu adalah kasus kontroversi? Dalam arti menyalahi aturan syariat agama hingga penulis tergerak untuk menjabarkan hukum tersebut, atau kah hanya sepintas opini semata agar masyarakat melirik kepada tulisannya saja?

Perlu kita perhatikan, bahwa penulis berniat mebenahi distorsi yang dianut oleh kaum minoritas, yang beropini mengenai keharaman pemakaian wig bagi kaum hawa. Asumsi mereka dinilai keliru, perlu dikritik dan dibenahi kembali. Sebab, pada dasarnya, tak ada argument kuat yang mampu mengharamkan pemakaian wig.

Wig atau rambut palsu merupakan kepala rambut yang terbuat dari rambut manusia, bulu hewan, wol, atau bahan sintetis lain yang dipakai di kepala untuk mode atau berbagai alasan estetika dan gaya lainnya.

Di antara tujuan memakai wig ialah untuk menyamarkan fakta bahwa rambut mereka rontok atau botak, rambut palsu dapat digunakan sebagai alternatif yang lebih fleksibel dan digunakan juga sebagai aksesoris kosmetik dalam bergaya.

Pada kesempatan kali ini, penulis hendak merujuk kembali kepada fatwa yang menjadi tiang pancang utama bagi kaum Sunni, ditetapkan oleh ketua Mufti Hadramaut pada masanya, yang sekaligus tokoh di balik berdirinya Universitas ternama di bumi Hadramaut (Al-Ahgaff University), yaitu Sayyid Abdullah bin Mahfudz Al-Haddad.

Kaum minoritas yang menetapkan keharaman wig beragumen, bahwa perkara tersebut termasuk persoalan washlu sya'ri (menyambung rambut). Paradigma mereka terlalu monoton, menerapkan qiyas kepada tempat yang tidak semestinya. Memang, washlu sya'ri adalah perihal yang diharamkan oleh syari'at, namun demikian, hukum wig tak dapat dianalogikan seperti washlu sya'ri.

Sayyid Abdullah bin Mahfudz Al-Haddad menuturkan dalam kitab fatwanya,

إن لبس الباروكة ليس من الوصل الذي لعن الرسول صلى الله عليه وسلم فاعلته، وقد جاء عن السلف ما يفيد ذلك، فقد روى عبد الرزاق في ((المصنف)) عن ابن جريج قال: قال عطاء: إذا وضعت المرأة على رأسها شعرا بغير وصل، فتضعه إذا قامت إلى الصلاة فإنه محدث. وروى عبد الرزاق أيضا عن ابن عيينة عن منصور عن إبراهيم قال: لا بأس أن تضع المرأة على رأسها الشعر بغير وصل. (مصنف عبد الرزاق).

"Sungguh, pemakaian wig/ rambut palsu bukan termasuk dari persoalan washl (menyambung rambut) yang mana Rasulullah Saw melaknat pelakunya."

Para ulama Salafussalih telah datang dengan memberi faidah mengenai hal ini, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Abdurrazzaq dalam Mushannafnya, riwayat itu berasal dari Ibnu Juraij ia berkata, bahwa Atha menjelaskan, "Apabila seorang wanita meletakkan rambut di atas kepalanya tanpa menyambungnya, maka hendaklah untuk menaruhnya jika ia ingin mendirikan shalat, karena hal itu adalah barang yang menyebabkan hadast."

Imam Abdurrazzaq juga kembali meriwayatkan nash yang berasal dari Ibnu Uyainah dan berujung kepada Ibrahim, tuturnya, "Tidak apa-apa bagi wanita meletakkan rambut palsu (wig) di atas rambut aslinya selama itu tidak disambung."

Menurut Sayyid Abdullah Al-Haddad, kedua dalil di atas menunjukan bahwa penggunaan wig diserupakan dengan pakaian, dan tidak bisa disebut washl (penyambungan). Baginya, wig adalah perhiasan yang mubah digunakan kaum hawa untuk berhias diri.

Imam Abu Asybal Hasan Az-Zuhairi pun mengemukakan hukum wig dalam kitab Syarh Shahih Muslim,

إن لبس الباروكة للمرأة المسلمة تتزين بها لزوجها أمر جائز، وامتثالاً لقوله عليه الصلاة والسلام: (الدين النصيحة) وهذه النصيحة أنا أولى بها من أي إنسان آخر.

"Sungguh, pemakaian wig bagi wanita muslimah dengan tujuan berhias diri untuk suaminya adalah perkara mubah, sekaligus menerapkan hadist Nabi Muhammad Saw, ((Agama itu adalah nasihat)), Dan aku lebih utama tuk menasihati diriku sendiri daripada orang lain."

Menjabarkan fatwa Syekh Yusuf Al-Qordhawi, yang bertendensi kepada keharaman pemakaian wig bagi kaum hawa, dan menetapkannya termasuk dari persoalan washlu sya'ri (menyambung rambut). Sayyid Abdullah bin Mahfudzh Al-Haddad berasumsi, bahwa Syekh Yusuf belum menelaah kedua nash (teks) dalil di atas yang berasal dari pembesar tabi'in.

Tidak berhenti sampai situ, Sayyid Abdullah Al-Haddad pun terus mengamati faktor lain terkait fatwa Syekh Qordhawi. Baginya, bisa saja beliau menetapkan fatwa tersebut semata-mata karena melihat kecenderungan attitude buruk muslimah di Negara Mesir dan lainnya, yang keluar rumah sembari berhias diri dengan mengenakan wig tanpa berhijab, dengan dalih bahwa wig cukup menggantikan posisi hijab dalam menutup aurat. Kultur ini kemudian dianggap menyimpang dari syariat.

Dalam Risalah fi Fiqh Al-Muyassar, Dr. Shalih bin Abdullah bin As-Sadlan menaruh perhatian akan hal ini,

فإذا احتاجت المرأة إلى لبس الباروكة فإنها لا تمسح عليها عند وضوئها للصلاة؛ لأنها ليست خمارا ولا في معنى الخمار؛ ولأنه لا بد من المسح على الرأس مباشرة أو على الشعر الذي خلقه الله.

"Apabila seorang wanita perlu memakai wig, maka tidaklah ia mengusapkan air di atasnya ketika berwudhu untuk shalat, sebab wig bukanlah khimar (hijab), pun bukan termasuk pengganti khimar, karena dalam bab wudhu ia mesti mengusapkan air ke atas kepalanya secara langsung atau ke atas rambut yang Allah swt ciptakan pada dirinya."

Dalil di atas mengukuhkan bahwa wig tidak dapat menggantikan posisi khimar (hijab) dalam menutup aurat. Mufti Tarim Sayyid Abdurrahman Al-Masyhur menyebutkan, "Syarat penutup aurat mesti menutupi keseluruhan aurat dan menghalangi warna kulit." Meski wig menutupi warna kulit kepala wanita, namun nyatanya ia tidak memenuhi qualified penutup aurat, yaitu menutupi keseluruhan aurat kepala dan sekitarnya.

Dari sini sudah jelas ke-mubah-an pemakaian wig bagi kaum hawa, terlebih jika hal itu ditujukan kepada suami, maka hukumnya sangat dianjurkan karena mampu membuat hati suami bahagia karena keelokan sang isteri. Adapun jika ia niatkan berhias diri untuk non-mahramnya, maka hukumnya haram secara mutlak. Dan perkara ini, tidak termasuk persoalan washl (menyambung rambut). Wallahu A'lam bis Showab. . .

    Referensi:
  • Bughyatul Mustarsyidin fi Talkhisi Fatawa Ba'du Aimmah Al-Mutaakhirin, karya Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Al-Masyhur.
  • Fatawa Tahummul Mar'ah wa Yaliihi Majmuatul Masail Yaktsuru Sualu Anha, karya Sayyid Abdullah bin Mahfudzh Al-Haddad.
  • Risalah fi Fiqh Al-Muyassar, karya Dr. Shalih bin Ghanam bin Abdullah bin Sulaiman bin Ali As-Sadlan.
  • Syarh Shahih Muslim, karya Imam Abu Asybal Hasan Az-Zuhairi Al-Manshouri Al-Misriy.

===============