Oleh : Faisal Dzikri

Universitas Imam Syafii Mukalla

Sumber kemuliaan secara keseluruhan bagi ahli bait adalah Rasulullah saw. Penutup para nabi, utusan bagi seluruh alam semesta, yang tidak berbicara berdasarkan keinginan sendiri melainkan wahyu yang diturunkan. Rasul yang namanya di dalam kitab Injil adalah Ahmad, yang membenarkan ajaran para rasul lainnya. Orang yang berbudi luhur, pembuka lagi penutup para nabi, cahaya dari segala cahaya, rahasia dari segala rahasia, makhluk yang paling agung derajat dan kesempurnannya.

Ahlu bait merupakan golongan orang-orang yang menempati kedudukan istimewa di sisi Rasulullah saw. Allah Swt telah membersihkan dan mensucikan hati mereka dari segala dosa dan kotoran hati. Rasulullah saw memerintahkan segenap umatnya untuk senantiasa mengikuti jejak dan manhaj para ahlu bait, yang notabenenya adalah keturunan dari Sayyidina Ali dan Sayyidatina Fathimah binti Rasulullah saw.

Rasulullah saw menjelaskan bahwa ahlu bait adalah mereka yang berasal dari keluarga Sayyidina Ali, Sayyidina Ja'far, Sayyidina Aqil, dan keluarga Sayyidina Abbas. Namun, mayoritas masyarakat beranggapan bahwa ahlu bait hanyalah mereka yang memiliki silsilah nasab kepada Rasulullah saw melalui jalur Sayyidina Hasan ataupun Husein r.a. Sebutan yang kerap kali kita dengar adalah ahlu kisa' sebagaimana dalam hadits Al-Kisa'. Mereka adalah Sayyidina Ali, Fathimah, Hasan, dan Husein.

Keutamaan ahlu bait telah Allah sebutkan dalam Al-Qur'an dan telah diterangkan pula oleh Rasulullah saw dalam sabdanya. Kemuliaan dan kehormatan mereka bagaikan cahaya ilahi, kekal, dan tidak luntur hingga hari kiamat, Allah Swt berfirman :

إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً(الأحزاب:33)

"Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu wahai ahlu bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya." (QS. Al-Ahzab: 33)

Dalam kitab At-Tahrir wa at-Tanwir, Imam Ibnu Asyuur menafsirkan bahwa maksud kalimat membersihkan di sini ialah pembersihan maknawi. Dalam artian sebagai bentuk penyempurnaan jiwa dan hati mereka agar terbebas dari kotoran yang bersarang dalam hati seseorang seperti iri, dengki, hasad, dan lain sebagainya.

Rasulullah saw bersabda,

إني تارك فيكم الثقلين أحدهما أكبر من الآخر: كتاب الله عز وجل حبل ممدود من السماء إلى الأرض، وعترتي أهل بيتي، وإنهما لن يفترقا حتى يردا على الحوض. (رواه الترمذي)

"Sesungguhnya Aku meninggalkan dua perkara yang berat di antara kalian, yang mana salah satunya adalah sesuatu yang lebih besar dari lainnya. Ialah kitab Allah (Al-Qur'an) yang (mukjizatnya) terbentang dari langit hingga bumi, dan keturunan-Ku yaitu ahlu bait. Keduanya tidak akan terpisah hingga ditunjukan kepada-Ku telaga (Surga)." (HR. Tirmidzi)

أَحِبُّوا اللَّهَ لِمَا يَغْذُوكُمْ مِنْ نِعَمِهِ وَأَحِبُّونِي بِحُبِّ اللَّهِ وَأَحِبُّوا أَهْلَ بَيْتِي بِحُبِّي. (رواه الترمذي)

"Cintailah Allah karena telah memberikan karunia-Nya kepada kalian dari nikmat-Nya. Dan cintailah Aku dengan cinta kalian kepada Allah, dan cintailah ahli bait-Ku dengan cinta kalian kepada-Ku." (HR. Tirmidzi)

والذي نفسي بيده، لا يبغضنا أهل البيت رجل إلا أدخله الله النار. (رواه ابن حبان)

"Dan demi Dzat yang mana jiwa-Ku berada dalam genggaman-Nya, tidaklah seseorang membenci Ahli Bait kecuali Allah Swt akan memasukannya ke dalam neraka." (HR. Ibnu Hibban)


Memahami Makna Kata Sayyid dan Syarif

Beralih kepada penafsiran kata sayyid dan syarif. Mayoritas umat muslim menisbatkan gelar tersebut kepada para ahli bait yaitu mereka yang memiliki silsilah nasab bersambung kepada Rasulullah saw. Dalam kitab Lisanul Arab, gelar sayyid memiliki pengertian tuan yang memiliki ladang pekerjaan, raja yang berkuasa, orang yang mulia, memiliki keutamaan. Atau bisa juga diartikan sebagai seseorang yang memiliki kedudukan tinggi dan terhormat dalam kaumnya.

Ibnu Syamil berkata, "Sayyid merupakan mereka yang memiliki keutamaan dari selainnya dengan diberkati akal, harta, serta memiliki kemampuan memberikan manfaat kepada orang lain." Sedangkan Ikrimah beropini bahwa sayyid adalah mereka yang mampu mengalahkan nafsu amarahnya. Adapun menurut Qotadah mereka adalah ahli ibadah yang wara'. Rasulullah saw pernah ditanya mengenai siapakah sayyid? Beliau menjawab, "Yusuf bin Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim a.s." Lalu mereka kembali bertanya, "Siapakah sayyid dari ummat-Mu?" Beliau menjawab, "Yaitu mereka yang Allah karunia rezeki berupa harta dan memiliki sifat pemaaf (lapang dada), kemudian melaksanakan syukurnya (dengan menginfakkannya di jalan Allah) serta sedikit mengadu kepada manusia."

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم على المنبر وحسن عليه السلام معه وهو يقبل على الناس مرة وعليه مرة وأن ابني هذا سيد ولعل الله تبارك وتعالى أن يصلح به بين فئتين من المسلمين (رواه البخاري وأحمد)

"Rasulullah saw bersabda ketika berada di atas mimbar, dan Sayyidina Hasan sedang bersama-Nya sembari diciumi oleh Beliau dihadapan manusia lalu berkata, "Sesungguhnya anak-Ku ini adalah Sayyid, dan semoga Allah swt akan menjadikan-Nya sebagai penengah dari kedua kelompok besar dari kaum muslimin." (HR. Bukhari & Ahmad)

Sedangkan makna syarif dalam kamus Bahrul Muhith memiliki makna tinggi dan mulia. Hal tersebut tidak akan terjadi kecuali berasal dari nasab terdahulunya. Di era Islam pertama, gelar ini dinisbatkan kepada keluarga yang berasal dari keturunan Hasyim. Dan tokoh utama yang menyandang gelar ini adalah Syarif Ridho dan saudaranya yaitu Syarif Al-Murtadho r.a. Terjadi perbedaan pendapat mengenai penisbatan gelar ini, Ahlu Iraq berpandangan bahwa gelar ini hanya dikhusukan untuk keturunan Abbas, sedangkan Ahlu Syam berpendapat bahwa gelar ini hanya berlaku bagi keturunan Hasan serta Husein bin Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a.

Pada tahun ke 4 Hijriyah, sebagian keturunan dari Sayyidina Husein berhijrah dari Bashrah ke Hijaz, Irak. Setelah dikuasai oleh ahlul bid’ah. Di samping adanya berbagai gangguan yang  mengusik para keturunan nabi juga munculnya golongan Zanj yang terlaknat, mereka memecah belah kaum muslimin, menguasai kota Basrah dan daerah-daerah sekitar, mereka merampas para istri kaum muslimin dan memperkosa mereka dengan bayaran dua dirham, dalam sehari mereka berhasil membunuh tiga ratus ribu orang.

Dengan tekad yang bulat, Sayyid Ahmad berhijrah bersama keluarganya dari kota Basrah menuju kota Madinah, setelah itu berpindah lagi ke kota Mekkah dan pada akhirnya beliau berpindah ke desa-desa di Yaman, dari satu desa ke desa lainnya hingga pemberhentian terakhirnya di provinsi Hadramaut dan keturunan beliau bertempat di kota Tarim.

Setelah menginjakan kaki di negeri Hadhramaut, Sayyid Ahmad mulai berdakwah dan menebarkan ilmu syariat yang dibawa dan diwarisinya dari para leluhur pendahulunya. Keikhlasan serta kegigihan beliau menegakkan kalimat Tauhid di tanah Hadhramaut membuahkan hasil. Tidak sampai disitu, dakwahnya berhasil tersebar ke berbagai penjuru negeri yang dibawa oleh para murid serta keturunannya. Di antara negara-negara yang berhasil dicapainya ialah India, China, Indonesia dll.


Apakah Ahlu Bait Boleh Menerima Sedekah?

Tidak ada perbedaan pendapat mengenai hukum menerima sedekah bagi ahlu bait, Jumhur Ulama sepakat bahwa bagi ahlu bait Rasulullah saw haram menerima sedekah, baik itu sedekah fardhu ataupun sunnah. Rasulullah saw bersabda,

إني لأنقلب إلى أهلي فأجد التمرة ساقطة على فراشي ثم فأرفعها لآكلها ثم أخشى أن تكون صدقة فالقيها ولا آكلها (رواه أحمد)

"Ketika Aku kembali ke keluargaku, Aku menemukan sebutir kurma yang terjatuh dari ranjangku lalu aku mengambilnya untuk memakannya. Akan tetapi tersirat dalam benakku jika itu adalah kurma sedekah, oleh karenanya Aku membuangnya dan tidak jadi memakannya." (HR. Ahmad)

Sebagaimana Rasulullah saw mengharamkan sedekah atas dirinya sendiri, Beliau juga mengharamkan hal serupa kepada para keluarga beserta keturunannya. Sayyidina Hasan berkata,

أَذَكَرُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، أَنِّي أَخَذَتُ تَمْرَةً مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ فَجَعَلْتُهَا فِيَّ، فَنَزَعَهَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِلُعَابِهَا فَجَعَلَهَا فِي التَّمْرِ، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا كَانَ عَلَيْكَ مِنْ هَذِهِ التَّمْرَةِ لِهَذَا الصَّبِيِّ، فَقَالَ: إِنَّا آلُ مُحَمَّدٍ لا تَحِلُّ لَنَا الصَّدَقَةُ. (رواه أحمد)

"Aku mengingat perihal ini dari Rasulullah saw, sewaktu-waktu Aku pernah mengambil sebutir kurma dari kurma sedekah dan aku meletakannya di mulutku. Kemudian Rasulullah saw datang dan mengambil dengan mulut-Nya sendiri lalu meletakannya kembali ke tempat semula. Kemudian sahabat lain bertanya, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau mengambil kurma yang ingin dimakan oleh anak kecil ini?" kemudian Rasulullah saw menjawab, "Sesungguhnya kami Ahlu Bait Muhammad, tidak dihalalkan kepada kami sedekah." (HR. Ahmad)

Sebab diharamkannya sedekah atas ahlu bait ialah karena sedekah merupakan bentuk sisa kotoran manusia. Imam Nawawi berpendapat bahwa makna kotoran di sini adalah karena harta yang dikeluarkan merupakan bentuk pensucian dari harta dan jiwa manusia. Oleh sebab itu, tidak pantas bagi ahlu bait menerima harta sedekah. Hal yang demikian adalah untuk menjaga kemuliaan dan ketinggian derajat mereka di sisi Allah dan datuknya yaitu Rasulullah saw.


Sikap Apa yang Diperlukan Dalam Menghadapi Ahlu Bait Yang Berperangai Buruk?

Tidak ada pengkhususan dalam menyikapi sikap buruk yang dilakukan oleh para ahlu bait. Karena pada dasarnya semua manusia adalah sama yaitu berasal dari nabi Adam a.s. Dan syariat berlaku bagi seluruh umat manusia. Nabi Muhammad saw pernah bersabda,

والله لو أن فاطمة بنتن محمد سرقت لقطعت يدها (رواه البخاري ومسلم)

"Demi Allah, jika saja Fathimah binti Muhammad mencuri, pasti akan ku potong tangannya." (HR. Bukhari Muslim)

Konteks hadits di atas menggambarkan dan menerangkan akan hak-hak syariat yang wajib ditunaikan oleh seorang muslim. Dan hal itu akan tetap berlaku kepada kerabat dekat sekalipun. Sebagaimana kedudukan Sayyidatina Fathimah r.a di sisi Rasulullah, Ia adalah orang terdekat dan tercintanya. Bagaimana tidak? Sedangkan Ia telah menyandang gelar Al-Bathul At-Thohirah Al-Muthahhirah, dan gelar tersebut diberikan langsung oleh Rasulullah. Namun, hal itu tidak menghalanginya akan penegakkan syariat kepada sang putri jika ia melakukan pelanggaran syariat.

Ikatan kuat yang dimiliki para ahlu bait dengan Rasulullah saw bukan hanya sekedar nasab belaka, akan tetapi ikatan iman dan taqwa. Tidakkah kita melihat, bahwa Abu Lahab yang merupakan paman Nabi telah celaka atas kekafiran yang dipegangnya. Jika saja hukum syariat tidak berlaku kepada ahlu bait, sudah pasti Rasulullah saw akan langsung mensyafaatinya atas dasar hubungan kerabat.

Kesimpulan yang dapat kita pahami, jika kita menemukan ahlu bait berperangai buruk kepada sesesorang serta melakukan kezaliman, maka kita diperkenankan untuk mengambil hak orang lain dari dirinya, dengan syarat tidak berlebihan dan melampaui batas. Akan tetapi, sikap yang lebih utama dan mulia adalah dengan memaafkannya, menasehatinya dan mengajaknya kembali kepada jalan yang benar. Semua itu dilakukan semata-mata atas landasan sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan kita terhadap Rasulullah saw. Wallahu A'lam bis Showab.


===============

Terus dukung dan ikuti perkembangan kami lewat akun media sosial PPI Yaman di;
Instagram: @ppiyaman
Facebook: PPI YAMAN
Youtube: PPI Yaman
Website: ppiyaman.org