Oleh: Qodri Azizi

Peristiwa Isra Mikraj memang benar-benar peristiwa yang menantang keimanan. Pasalnya, bagaimana perjalanan dari Masjid Haram ke Masjid Aqsha, dari Makkah ke Palestina yang seharusnya ditempuh berbulan-bulan oleh penduduk saat itu, tetapi perjalanan ini dilakukan Nabi Muhammad tak genap semalam? Apalagi Mikraj, perjalanan menembus tujuh langit hingga mencapai Sidratulmuntaha. Hal tersebutlah yang menjadi salah satu sebab sahabat Abu Bakar dijuluki As-Shiddiq karena beliau pertama kali orang yang mengimani dan menyakini peristiwa tak masuk akal tersebut.


Historisitas Isra Mikraj

Tahun kesedihan yang saat itu jatuh pada tahun 10 kenabian benar-benar membuat nabi terpuruk. Pada tahun tersebut paman Nabi Muhammad, Abu Tholib meninggal dan setelahnya disusul dengan meninggalnya Sayyidah Khodijah. Kepergian Sayyidah Khadijah sebagai penghibur jiwa, pelipur lara, dan tempat Rasulullah menumpahkan luapan romantismenya adalah pukulan berat bagi beliau. Sementara, wafatnya Abu Thalib sebagai penolong, pelindung, dan orang yang selama ini mati-matian membela Rasulullah, telah membuka jendela baru bagi orang-orang kafir Quraisy untuk kembali mengancam dan melakukan serangan terhadap beliau. Lantaran bertumpuk-tumpuknya duka dan derita yang dialami Rasulullah pada tahun itu, maka disebutlah sebagai am al-huzn atau tahun kesedihan. Sebab kesedihan tersebut terjadilah peristiwa Isra Mikraj.

Peristiwa Isra Mikraj merupakan sebuah perjalanan spiritual. Maka sebelum perjalanan dimulai, Allah terlebih dahulu menyiapkan sebuah peristiwa spiritual terhadap kekasihnya, yaitu peristiwa pembersihan. Terlepas dari bagaimana pembersihan itu terjadi, Jibril lantas mendatangkan seekor binatang putih bernama Buroq sebagai kendaraan Nabi dalam peristiwa Isra Mikraj.

 Perjalanan Mikraj nabi dimulai dari pintu langit pertama. Rasulullah dan Jibril memasuki pintu langit pertama bertemu seorang laki-laki. Rasulullah menyapa laki-laki tersebut dan mengucapkan salam. Ia pun membalasnya dan menyambutnya dengan santun.

“Siapa orang ini, Jibril?” tanya Rasulullah.

“Dia adalah Bapakmu, Adam.”

Ketika memasuki pintu langit kedua, Rasulullah bertemu dengan Nabi Isa dan Nabi Yahya. Rasulullah menyapa keduanya dengan mengucapkan salam. Rasulullah lantas melanjutkan perjalanannya menuju langit ketiga. Disana beliau melihat seseorang yang sangat indah parasnya sehingga rasa heran muncul di benak Rasulullah, kemudian beliau bertanya.

“Siapa dia wahai Jibril?”

Jibril menjawab, “Dia adalah saudaramu, Yusuf.”

Kemudian Mikraj berlanjut ke langit keempat. Langit keempat dilewati dengan cara yang sama seperti langit sebelumnya dan beliau berjumpa dengan Nabi Idris. Perjalanan berlanjut menembus langit kelima. Muncullah seorang lelaki berjenggot amat panjang, terurai hampir menyentuh pusar.

“Siapa orang ini, Jibril?”

Jibril menjawab, “Ia adalah Nabi yang dicintai umatnya, Nabi Harun bin Imran."

Di langit keenam, peristiwa yang sama terjadi kembali. Rasulullah tertegun melihat seseorang yang dikelilingi umat yang banyak jumlahnya.

“Siapa dia wahai Jibril?”

“Beliau adalah Musa bin Imran.”

Sekejap kemudian, mereka berdua telah meninggalkan Nabi Musa dan tiba di depan pintu langit ketujuh. Di pintu langit ke tujuh Nabi Muhammad bertemu dengan Nabi Ibrahim yang pada akhirnya Nabi Muhammad mencapai Sidratulmuntaha. Di sana beliau mendapatkan perintah untuk mengerjakan salat wajib 5 waktu dalam sehari setelah negoisasi beberapa kali dari jumlah salat yang semula 50 waktu dalam sehari. Inilah yang menjadi titik penting perjalanan beliau di malam tersebut.


Rasionalitas Isra Mikraj

Telah disebutkan bahwa Isra adalah perjalanan Nabi Muhammad dari Masjid Haram Makkah ke Masjid Aqsha Palestina. Mikraj merupakan perjalanan dari Masjid Aqsha ke Sidratulmuntaha. Kejadian tersebut terjadi pada 27 Rajab sepuluh tahun setelah kenabian. Siapa saja yang tidak percaya akan peristiwa Isra Mikraj dianggap runtuh imannya.

Dalam surat Al-Isra' telah dijelaskan bahwa peristiwa Isra itu benar-benar terjadi. Memang sulit nalar rasional mempercayainya bahwa Nabi Muhammad pulang pergi dari Makkah ke Masjidi Aqsha Palestina hanya butuh satu malam.

Banyak sekali spekulasi yang mengaitkan Isra Mikraj dengan teori-teori sains modern seperti teori kuantum cahaya, relativitas Einstein, modulasi gelombang cahaya dan teori anihilisasi dan teori teleportasi (Einstein, 2010: 11). Sangat banyak spekulasi-spekulasi yang mengharapkan dapat diungkapkannya peristiwa Isra Mikraj agar masuk ke dalam pemahaman rasional. Tetapi semuanya gagal karena peristiwa besar itu tidak terjangkau oleh kemampuan manusia yang sangat terbatas, apalagi ingin dibatasi dalam segi empiris. Akhirnya yang terjadi adalah pencocok-cocokan.

Misalnya ada teori tentang kecepatan cahaya. Cahaya dari Makkah ke Madinah bisa sampai kurang dari satu detik. Tetapi apa hubungannya kecepatan cahaya itu dengan peristiwa Isra Mikraj? Selanjutnya dikemukakan teori Einstein. Dalam teori ini tidak ada yang pasti. Semuanya relatif menurut kondisi pengamat (Einstein, 2010: 18).

Banyak lagi implikasi-implikasi teori relativitas Einstein. Semua tidak ada hubungannya dengan Isra Mikraj. Kalaupun Nabi Muhammad menempuh perjalanan dari Makkah ke Masjid Aqsha hanya menempuh perjalanan dalam 0,005 detik, itu tidak penting. Karena dalam Isranya, Nabi Muhammad sempat menemukan banyak hal dan berdialog tentang banyak tema dengan Jibril. Kalau kecepatannya 0,005 detik menuju Masjid Aqsha? Apa gunanya? Apakah berbagai fenomena yang dilihat dan panjang lebar itu hanya butuh waktu 0,006 detik?

Sehingga jelas Isra Mikraj tidak akan mungkin dijangkau oleh nalar, apalagi pembuktian saintifik yang sifatnya menguji sesuatu secara empiris. Pengalaman Isra Mikraj itu sesuatu yang nulayani adat atau diluar adat kebiasaan manusia. Karena itu, alih-alih untuk dibuktikan secara rasional, pengalaman tersebut justru menjadi penegasan bahwa akal tidak akan mampu menjangkaunya.

Peristiwa Isra Mikraj juga tidak dapat dianalisa dengan pendekatan saintifik. Pendekatan tersebut menggunakan eksperimen coba-coba (trial and eror). Bagaimana bisa dieksperimentasikan kalau kejadian itu tidak akan ada lagi. Bagaimana dapat dilakukan pengujian terus-menerus bila kejadian tersebut hanya terjadi sekali dan tidak akan terulang lagi.


Pertengkaran Bumi dan Langit

Terlepas dari historisitas dan rasionalitas Isra Mikraj, disebutkan dalam kitab Durratunnasihin bahwa sebab Mikrajnya Nabi Muhammad karena terjadi pertengkaran antara bumi dan langit. Saat itu bumi mengklaim dirinya lebih mulia dari pada langit.

“Aku (bumi) lebih baik darimu, karena Allah telah menghiasiku dengan pulau, lautan, sungai-sungai, pepohonan, pegunungan dan lain sebagainya.”

"Aku (langit) lebih baik darimu, karena matahari, bulan, bintang, angkasa, rasi bintang, arsy, kursy dan surga ada padaku.”

"Dan padaku (bumi) ada ka'bah yang diziarahi dan digunakan melaksanakan ibadah tawaf oleh para nabi, rasul, ulama, ahli hikmah, para pembesar dan orang-orang beriman sekalian.”

"Dan padaku (langit) ada baitil ma'mur, yang digunakan untuk tawaf para malaikat, dan juga ada surga yang menjadi tempat arwah para nabi, rasul, ulama yang mengamalkan ilmunya, ahli hikmah, para pembesar dan orang-orang sholeh.”

"Sesungguhnya pemimpin para rasul, penutup para nabi, kekasih tuhan semesta alam ada padaku, dan sebaiknya-baiknya ciptaan dan syariatnya berjalan di atasku".

Maka ketika langit mendengar jawaban ini, ia terdiam dan tak mampu lagi menjawab bumi. Kemudian langit mengadu kepada Allah SWT.

"Ya Allah, engkau yang maha pengabul hamba yang membutuhkan ketika berdoa, kini aku tak mampu menjawab bumi, maka aku memohon kepadaMu, Naikkanlah Nabi Muhammad padaku sehingga aku bisa berbangga kepada bumi dengan Mikrajnya Nabi.”

Maka Allah mengabulkan permintaan si langit, dan memberikan wahyu kepada malaikat Jibril pada malam ke 27 Rajab.

"Wahai jibril, bawalah padaku Nabi Muhammad dari bumi, berangkatlah bersama Malaikat Mikail ke surga. Ambilah buroq untuk kendaraan Nabi Muhammad". Waallhu A'lamu.

    

Sumber:
1.   Al-Qur'an Al-Karim.
2. Kitab Durratunnasihin karya Syekh Utsman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakir al-Khaubawiyyi Halaman 117.
3. Einstein, A. (2010). Relativity: The Special and General Theory. London: Forgotten Books, 2010.

===============

Terus dukung dan ikuti perkembangan kami lewat akun media sosial PPI Yaman di;
Instagram: @ppiyaman
Youtube: PPI Yaman
Website: ppiyaman.org