Sebuah resensi buku dengan judul Love for Imperfect Things
Oleh: Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy
Anggota Literoom PPI Yaman
Buku ini ditulis oleh Hanim Sunim,pengarang buku yang juga menulis dan menerbitkan buku lain dengan judul “the things You can see when you’re slowing down (hal-hal yang bisa kau lihat ketika tenang/santai) mendulangi kesuksesan yang serupa pada buku sebelumnya,buku terkenal kedua milik beliau “love for imperfect things”mampu menyamai kesuksesan sebelumnya sebagai buku international best seller,karya-karya beliau dikenali dengan ciri khas yang berfokus pada masalah-masalah psikologi sehari-hari melalui pendekatan ajaran kebiksu-an.
Pengarang sendiri juga dikenali sebagai salah satu biksu dan penulis berpengaruh di dunia,lahir di Korea selatan,dan menyelesaikan edukasi (strata 1) di Berkeley ,kemudian Harvard dan princeton intitute,beliau menerima pelatihan kebiksu-an/kebudha-an di Universitas Hampshire di Massachusetts bersandingan dengan itu ia juga memiliki banyak pengikut di Twitter/X,saat ini tinggal di Seoul ketika tidak ada agenda ceramah atau seminar.
Disini kota tak akan Me-review,mendebat,mendiskusikan,ataupun membahasa bab demi bab dengan kata lain kita akan memetakan konklusi yang ada yakni:
- Emansipasi diri
- Seni bersikap bodo amat
- Harmoni pada hal spiritualitas dan keluarga
- Penerimaan
- Kontinuasi dengan hidup
Ok, ini tampak sedikit rumit dan berlebihan bagi beberapa pembaca oleh karena ini buku adalah buku psikologitas dan penanggulangan masalah sehari-hari,bagi beberapa orang yang hidup nya mungkin berjalan tanpa hambatan maka buku ini akan jadi karya umum berkenaan tentang “buku motivasi” namun bagi beberapa yang lain mengatakan ini adalah buku yang mengajak seolah untuk berbicara pada diri kita sendiri dan masalah yang dialami ,sebagaimana kami mengutip pada bab yang berjudul “healing”.
“Berhenti berpikir dirimu laksana bulan sabit yang menunggu kian saban hari agar orang mengisi bagian kosong dirimu (bertindak sebagai pahlawan/menolong) saat kau bisa berdiri sendiri kelak (dengan kapasitas pribadi)seperti bulan purnama,suatu saat kelak mudah bagimu menemukan seseorang yang persis seperti dirimu”.
“Mencintai akan hal-hal yang tak sempurna”,dari judul barusan,umumnya bagi kita yang berpendidikan dan memiliki penalaran yang umum akan mampu menebak tentang poin utama yang akan dibicarakan pada buku ini,sebagaimana yang telah disebut di paragraf sebelumnya,buku ini berfokus pada masalah sehari-hari kita seperti:hubungan,penerimaan kita akan kekurangan,menghadapi perasaan minder,ataupun overthingking,depresi dan semacamnya,selanjutnya kita beralih pada pembagian buku ini dalam 8 bab,serta dalam tiap bab merepresentasikan 5 tahapan seni untuk merelakan/penerimaan. Adapun (8 bab) tersebut ialah: kepedulian akan diri sendiri, keluarga, empati, koneksi/hubungan, keberanian, pemulihan, pencerahan dan penerimaan secara utuh.
Secara garis umum,buku ini lumayan layak masuk dalam jajaran buku-pengantar masalah psikologi penerimaan terbaik yang pernah ditulis,menggunakan pendekatan ajaran kebiksuan yang cukup ketara dengan latar belakang penulis seperti yang ada di kalimat pembuka,cara ia (buku ini) menarasikan lumayan apik menarik pembaca untuk tenggelam dalam gaya penceritaan,bagaimana ia tersusun dari pengalaman pribadi penulis,beserta tambahan kata-kata mutiara setelahnya (tiap bab) beserta tambahan pengalaman dan informasi pihak pendukung tulisan terkait sukses membuat gaya penceritaan semi-novel dengan tetap menyorot permasalahan umum sehari-hari disertai solusi dari pengalaman orang yang pernah mengalami perihal serupa.
Yang mesti digaris bawahi sesaat setelah menyelasaikan buku ini adalah keterlibatan (ke-ikut campur-an) ajaran kebudhaan/kebiksuan,ambil contoh pada bab pertama tentang mengenali diri sendiri,yang cukup terhubung dengan kebiksuan ,contoh lain pada metode pernafasan atau seni ketenangan dengan mengatur napas sebagai langkah awal mencari titik tumpu suatu masalah,yang cukup mengingatkan kita pada Yoga dan pretensinya tentunya,yang berlanjut pada pengenalan akar masalah diri yakni pikiran dan kesadaran,sebagaimana penulis menjelaskan menggunakan analogi awan dan langit, dengan interpretasi awan adalah pikiran dan kesadaran atau keinginan adalah langit cerah,tentu kita akan mudah mengenali hal tersebut sesaat kita mulai membaca buku ini.
Bagaimanapun,dari point diatas ada indikasi dan kelemahan yang tampak,sebagaimana orang akan mudah merasa bias pada saat membaca pertama kali(karena campuran referensi kebudhaan) kontradiksi bagi status buku terkait sebagai buku umum yang mana bagi pembaca mudah menemukan kontra dan penolakan pada beberapa point,contoh sederhana bagi kita yang muslim hal aneh akan mudah didapati ketika masuk pada beberapa point masalah penerimaan pada penyimpangan(psikologi) seperti lesbianisme,liberalisme dll, disisi lain jika memposisikan sebagai pembaca bebas maka mudah menyimpul dan pembawaan buku sangat terkesan seperti buku motivasi hidup biasa yang ini kita jumpai,yang mana itu jadinya akan berpengaruh pada pengalaman membaca dari segi emosional dan “relate”,lain halnya jika kita adalah sebagai pembaca emosional (tergeting) Maka mudah menemukan point relevansi di dalamnya dan buku ini akan cocok juga tentunya.
Terakhir, sebagai pelajar Muslim, kami mengapresiasi niat penulis untuk membantu orang-orang di seluruh dunia dengan menyebarkan kebijaksanaan dalam bentuk karya untuk memberitahu orang-orang “tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja”, karena ketika kami terpanggil untuk membaca buku ini, kami menemukan bahwa konsep ini mirip seperti yang diajarkan oleh para guru dan ulama terdahulu, kami menemukan bahwa inilah yang diajarkan oleh para guru dan ulama kami sejak dulu, karena dalam Islam kita mengenal konsep “tazkiyatun nafs” atau tasawuf," sebagai langkah kita untuk mengenal tuhan kita dengan mempelajari ahlak dan pengendalian diri untuk mengenal diri kita sendiri seperti kutipan Arab yang mengatakan:
“من عرف نفسه عرف ربه”
Barang siapa yang mengenal dirinya maka dia mengenal tuhannya
Yang kedua hadits dari 40 hadits dari imam an-nawawi berkata:
قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنْ الْإِحْسَانِ قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللَّهُ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكِ
"Beritahukanlah kepadaku tentang Ihsan." Beliau (Nabi) menjawab, “Ihsan adalah engkau harus beribadah kepada Allah seakan-akan engkau dapat melihat-Nya, karena meskipun engkau tidak dapat melihat-Nya, namun Dia melihatmu.”
Dua poin ini terkait dengan pembelajaran pencerahan spiritual kepuasan diri dan sebagai penutup kami ingin mengutip salah satu kata bijak tentang pencerahan dan kenyamanan yaitu: "Tujuan dari kefanaan adalah untuk mengajarkan Anda untuk tidak menderita dan mati, tetapi untuk menikmati diri sendiri dan hidup" -al-imam abu Hamid Muhammad bin Muhammad al- Ghozali.
لا ترجو حياة الغير فإنك إنما عرفت منحه ولا تعرف محنه
Jangan pernah berharap tentang kehidupan orang lain karena satu-satunya hal yang kamu tahu adalah kepuasan mereka bukan kebingungan mereka (kerja keras/usaha) - Lora Ismail Kholilie.
===============
-
Terus dukung dan ikuti perkembangan kami lewat akun media sosial PPI Yaman di:
- Instagram: @ppiyaman
- Facebook: PPI YAMAN
- Youtube: PPI Yaman
- Website: ppiyaman.org
0 Komentar